“Malu
bertanya sesat dijalan”. Pribahasa ini sejatinya tak sekedar nasehat
belaka. Namun juga menggambarkan tentang karakteristik filsafat. Kenapa
penulis berani menjustifikasi demikian? Karena orang berfilsafat adalah
orang yang kritis. Karakter orang yang kritis selalu memunculkan
pertanyaan dan selalu mencari jawaban dibalik pertanyan demi
pertanyaannya. Lantas, pertanyaannya sekarang, adakah filsafat agama Islam?
Mencari
jawaban tersebut secara rill di dalam al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah
Saw tentu saja tidak akan ditemukan. Namun di dalam al-Qur’an banyak
sekali ayat yang menunjukkan bahwa filsafat agama Islam memang ada. Lihat saja dari ayat-ayat yang menunjukkan perenungan atau ayat-ayat mengandung pertanyaan.
Karena
Al-Quran sendiri mengajarkan tentang cara berfilsafat dengan baik.
Allah di dalam wahyu-Nya tersebut kerap menyuruh manusia berpikir. Allah
berulang kali menyebutkan kalimat, “apakah kamu tidak berpikir, apakah kamu tidak berakal atau apakah kamu tidak mengerti”. Hal
ini menunjukkan bahwa Allah mengingatkan manusia, bahwa filsafat agama
Islam memang ada, dan setiap muslim mestinya berfilsafat mengenai apa
yang diajarkan oleh agamanya.
Ciri-Ciri Orang Berfilsafat
Sebelum membahas filsafat agama Islam lebih mandalam, ada baiknya diwartakan kepada Anda ciri-ciri orang yang berfilsafat.
-
Selalu kritis
Orang
yang berfilsafat selalu kritis terhadap segala informasi, kepercayaan
dan sikap yang selama ini diperpeganginya. Rumus utama yang digunakan
orang yang selalu berfilsafat adalah dengan bertanya.
-
Melakukan Perpaduan
Orang yang berfilsafat kerap memadukan ilmu-ilmu atau bukti-bukti dalam menemukan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukannya.
-
Menggunakan Analisis
Setelah
bertanya dan memadukan bukti atau ilmu dalam menjawab pertanyaan yang
diajukan, selalu menggunakan pisau analisis yang tajam. Sehingga dalam
menemukan jawaban, orang yang berfilsafat tidak pernah menghiraukan
intimidasi yang muncul.
Pengetahuan Apa pun Bersumber pada Tuhan
Islam
menekankan bahwa pengetahuan semata-mata berasal dari Allah, baik
pengetahuan ilahi (yang sekarang disebut pengetahuan metafisika) maupun
pengetahuan sekular (yang sekarang disebut ilmu pengetahuan).
Berpedoman pada superioritas Allah dan kerendahan mahkluk, dalam Hayy bin Yaqdzon
dijelaskan ada dua tipe pencari pengetahuan (Allah). Pencari pertama
bernama Hayy bin Yaqdzon adalah orang yang mengandalkan batin.
Ia
mendapatkan bimbingan langsung dari Allah sehingga mencapai pengetahuan
utama. Pencari kedua adalah orang yang mengandalkan rasio. Ia harus
mengandalkan diri sendiri demi mencapai pengetahuan utama.
Akhirnya,
kedua pencari tersebut sama-sama mendapat pengetahuan utama meski
menempuh cara yang berbeda. Dengan demikian, dalam konteks tertentu,
Ibnu Tufayl menyiratkan bahwa pada akhirnya ilmu pengetahuan pun pasti
mengarah pada Tuhan.
Filsafat Wahdatul Wujud
Filsafat Wahdatul Wujud
lebih ekstrim lagi dalam pencapaian pengetahuan. Dalam filsafat ini,
untuk mencapai “Pengetahuan” (Allah), seseorang harus menghancurkan diri
sehingga tidak ada ruang yang tersisa bagi ke-aku-an. Dengan demikian,
barulah “pengetahuan” dapat menyingkapkan diri.
Dasar
pencapaian ini adalah kata-kata Nabi Muhammad “Barang siapa telah
melihatku, telah melihat Tuhan”. Akan tetapi, filsafat ini sering
dianggap sebagai filsafat oang kafir karena “memungkinkan” adanya
penyatuan makhluk dan khalik (pencipta).
Filsafat
wahdatul wujud pernah menyebabkan dua orang “pelaku”-nya
meninggal. Pertama, Husain bin Manshur (al-Hallaj) yang dengan lantang
menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan (Ana Al-Haqq). Al-Hallaj dipotong hidup-hidup di depan umum, dibunuh, lalu jasadnya dibakar pada 922 M.
Kedua, Ayn Al-Qudat yang nasibnya sama seperti Al-Hallaj, dibunuh karena mengungkapkan ketersingkapan ketika ia hancur dan Tuhan menaungi hatinya.
Filsafat Agama Islam -- Mencari Tuhan
Dari
dua contoh filsafat dalam Islam tersebut, kita dapat melihat bagaimana
pun sumber utama filsafat Islam adalah Tuhan. Memang ada beberapa aliran
lain, seperti Isyraqiyah dari Suhrawardi.
Akan
tetapi, aliran yang beragam tersebut hanyalah “cara” untuk menemukan
Tuhan sebagai sumber pengetahuan; karena terdapat hadits qudsi, “Aku
adalah harta karun tersembunyi. Aku ingin dicari dan ditemukan”. Tugas
muslim adalah mencapai-Nya, terlepas apa pun filsafat yang dipakainya.
Definisi Tuhan dalam Filsafat Agama Islam
Setelah
diketahui tentang kajian yang dibahas dalam filsafat agama Islam lebih
konsentrasi pada pembahasan Tuhan. Maka kaum filsafat selalu menanyakan
siapa yang layak disebut Tuhan? Pasalnya, nabi Ibrahim as. saja mencari
Tuhan. Ketemu matahari, dikiranya Tuhan namun ternyata bukan. Karena
matahari terbenam. Tuhan tidak mungkin hilang-timbul. Ketemu bulan dan
bintang juga demikian. Ia menyaksikan bulan dan bintang juga lenyap.
Hingga akhirnya, nabi Ibrahim memproklamirkan bahwa ia hanya bertuhankan
kepada menjadikan langit dan bumi dan sekali-kali tidak
menyekutukannya. (QS. Al-An’am [6]: 76-79)
Lalu
pertanyaannya, Siapa itu Tuhan? Jika ingin mendefenisikan Tuhan dengan
detail melalui filsafat agama Islam hanya dapat dikatakan, bahwa Tuhan
adalah yang tidak pernah sedikitpun membutuhkan bantuan siapa pun dan
apa pun, tapi siapa pun dan apa pun yang selalu membutuhkannya.
Artinya,
Tuhan tidak pernah meminta atau memohon bantuan kepada mahluk, tapi
mahluk yang selalu memohon kepada-Nya. Inilah definisi Tuhan yang
terdapat di dalam filsafat agama Islam. Jika ada yang mengaku Tuhan,
tapi masih membutuhkan tempat, maka itu bukanlah Tuhan. Jika ada yang
mengaku Tuhan tapi membutuhkan arah, maka itu bukanlah Tuhan. Jika ada
yang mengaku Tuhan tapi membutuhkan masa atau waktu, maka itu bukanlah
Tuhan.
Sehingga, di dalam filsafat agama Islam, Tuhan tidak sama dengan makhluk, baik dari perbuatan dan sifat-Nya. Jika makhluk
berbicara maka membutuhkan bantuan suara, membutuhkan ruang dan
membutuhkan awal dan akhir. Bagaimana dengan Tuhan? Tuhan tidak sama
dengan makhluk. Lalu bagaimana itu? Anda tidak akan menemukannya, karena
Anda juga makhluk.
Yang pasti, di dalam filsafat agama Islam dikatakan bahwa Tuhan tidak sama dengan makhluk.
Karena Anda makhluk maka Anda tidak akan pernah bisa memikirkan
bagaimana Tuhan. Tuhan ada, namun adanya tidak seperti adanya Anda.
Intinya, Anda mesti meyakinkan dan memperpegangi bahwa Tuhan adalah yang
tidak pernah membutuhkan mahluk, tapi mahluklah yang membutuhkan
Tuhan.
Tak Salah Menyebut Tuhan
Orang
yang belajar filsafat agama Islam tak akan pernah menyalahkan orang
yang selalu menyebut Tuhan, bukan Allah. Karena Allah adalah salah satu
nama tuhan dari sembilan puluh sembilan nama-Nya. Allah adalah nama yang
populer digunakan, karena Tuhan sendiri menggunakan nama tersebut.
Coba perhatikan basmalah, maka kata Allah terlebih dahulu daripada kata ar-rahman dan ar-rahim.
Ketiganya adalah nama Tuhan. Lantas pertanyaannya, siapa yang memberi
nama Tuhan tersebut? Jawabannya, adalah Tuhan sendiri. Karena Tuhan
memang berbeda dengan makhluk. Jika makhluk membutuhkan yang lain untuk
menamakannya, sedangkan Tuhan tidak membutuhkan.
Jika
Tuhan membutuhkan yang lain untuk memberi nama-Nya maka ia sama dengan
mahluk. Jelas, ini salah dan keliru. Tuhan, dalam kajian filsafat agama
Islam, tidak pernah membutuhkan mahluk, tapi mahluk yang membutuhkan
Tuhan.
Memperolok Filsafat
Terkait dengan filsafat, bahkan terdapat sosok Nasruddin Hoja yang menyindir para filsuf dalam guyonan berikut.
Seorang
filsuf yang penasaran dengan Nasruddin mengajak Nasruddin untuk
berjalan-jalan berkeliling kota. Setelah sekian lama mengobrol dan
berdebat, akhirnya keduanya memutuskan untuk mencari tempat makan. Tak
lama kemudian, mereka tiba di sebuah rumah makan terkemuka dan meminta
masakan paling spesial untuk hari ini.
“Menunya adalah ikan bakar,” kata pelayan.
“Bawakan dua untuk kami!” jawab Nasruddin.
Beberapa
menit kemudian, sang pelayan membawakan dua ikan bakar. Yang satu lebih
besar daripada yang lain. Tanpa permisi, Nasruddin langsung mengambil
ikan bakar yang lebih besar.
Sang
filsuf, melihat cara Nasruddin yang tidak sopan, segera memarahi
Nasruddin. Menurutnya, Nasruddin sangat egois, melanggar etika, dan
perilakunya tidak sesuai dengan kecerdasan. Setelah diceramahi sekian
lama, Nasruddin menyela.
“Sudah cukupkah, Tuan?” tanya Nasruddin.
“Anda
benar-benar tidak sopan. Saya malu berteman dengan Anda. “Sebagai
seorang yang bermoral, saya tidak akan berperilaku seperti Anda. Saya
justru akan memilih ikan bakar yang lebih kecil!” jawab filsuf tersebut.
“Ini bagian Anda kalau begitu,” Nasruddin menyodorkan ikan bakar yang lebih kecil kepada filsuf tersebut.
Inilah kajian sederhana tentang filsafat Agama Islam yang khusus mengupas masalah Tuhan. Semoga artikel sederhana ini memberikan pencerahan.